- See more at: http://blog.ahmadrifai.net/2012/04/cara-membuat-related-posts-bergambar.html#sthash.x841Tloy.dpuf - See more at: http://blog.ahmadrifai.net/2012/04/cara-membuat-related-posts-bergambar.html#sthash.I6UGBN6g.dpuf

Jumat, 07 November 2014

TRI SATRU MUNGGWING JANMA

POCUNG

Hurip iku, ora luput saking satru;
Satru TRIPRAKARA;
Donya, setan lan pribadi;
Lamun lulus manungsa dadi utama.

Donya iku;
Kaperang dadi tetelu;
Bandha kenya pangkat;
Yen katut temah billahi;
Donya rugi akherat bakal cilaka;

Kenya iku;
Paesan pantes dinulu;
Lembut lageyannya;
Yen mesem andudut ati;
Tan prayitna si priya bisa kagodha.

Pangkat iku;
Okeh kang padha kumudu;
Oleh panguasa;
Mung padune duwe melik;

 Lena yitna pungkasan dadi rubeda. 

Leganana Brantaning Pun Kakang Yayi....


Supri Boca Ndesa
*Tuak Daun Merah kota Kupang 7 10 2014

CANDRA SENGKALA(Javanese Chronogram)

Orang Jawa dikenal mempunyai kebiasaan menggunakan berbagai simbol dalam berbagai hal. Simbol-simbol tersebut biasanya digunakan untuk memperingati peristiwa-peristiwa penting. Dunia simbol orang jawa bukan hanya berupa benda-benda dua atau tiga dimensi, tetapi juga simbol-simbol kata. Simbol-simbol tersebut secara umum digunakan untuk menggambarkan perhitungan waktu, mengenai kapan sebuah peristiwa terjadi. Simbol yang masuk dalam kategori ini disebut Sengkalan (Javanese Chronogram).
Sengkalan mempunyai dua jenis, yaitu Sengkalan Memet dan Sengkalan Lamba. Sengkalan Memet adalah jenis sengkalan yang berupa gambar, ornamen, atau ukiran. Secara umum berupa benda dua dimensi atau tiga dimensi. Sementara Sengkalan Lamba merupakan sengkalan yang berupa kata-kata atau kalimat.
Selain itu sistem penanggalan orang jawa yang menggunakan perhitungan waktu berdasarkan matahari (tahun saka dan tahun masehi), biasanya disebut Suryasengkala dan bulan (tahun hijriyah dan tahun jawa), yang disebut Candrasengkala. Karena sengkalan ini digunakan untuk menuliskan tahun terjadinya sebuah peristiwa, maka sengkalan menggunakan kata-kata dan objek visual untuk menggantikan angka-angka dari 0-9.

Untuk menuliskan sebuah sengkalan, syarat yang harus dipenuhi adalah kata-kata atau gambar harus mempunyai watak wilangan (sifat bilangan). Secara terperinci, bisa dilihat di bawah ini (Sri Suwito, Yuwono, Sengkalan dan Logika Pemikiran Orang Jawa – Jurnal Kejawen: UNY – Yogyakarta 2011):
Watak satu                 : benda benda yang jumlahnya hanya satu, benda-benda berbentuk bulat, atau                                 manusia.
Watak dua                   : benda yang jumlahnya dua (tangan, telinga, dll)
Watak tiga                   : api, atau benda yang mengandung api
Watak empat              : air, dan kata-kata yang mengandung arti gawe (membuat)
Watak lima                  : raksasa, panah, angin
Watak enam               : rasa/perasaan, kata-kata yang mengandung arti obah (bergerak), kayu,                                         binatang berkaki enam (serangga)
Watak tujuh               : pendeta, gunung, kuda, dan kendaraan
Watak delapan           : brahmana, gajah, dan binatang melata (reptil)
Watak sembilan         : dewa dan benda-benda berlobang
Watak nol                   : kata-kata yang mengandung arti tidak ada, langit, angkasa, dan kata-kata                              yang mempunyai arti tinggi
Watak bilangan itu merupakan salah satu syarat. Syarat yang lain adalah harus memenuhi unsur estetika penulisan sastra jawa, yang ditandai dengan Guru Dasanama (sinonimi), Guru Sastra atau Guru Lagu (persamaan kata), Guru Warga (persamaan golongan), Guru Wanda (persamaan suku kata), Guru Sarana (persamaan fungsi), Guru Karya (persamaan sifat kerjanya), Guru Darwa (persamaan sifat suatu barang), dan Guru Jarwa (persamaan makna).
Itulah beberapa syarat untuk membuat sebuah sengkalan lamba, sementara untuk sengkalan memet harus mempunyai ketrampilan estetika untuk bisa mewujudkan sebuah angka tahun dalam sebuah obyek dua dimensi atau tiga dimensi. Ketika sebuah sengkalan telah selesai, sengkalan itu harus disusun dari belakang ketika dialihkan menjadi angka dari kata-kata. Contoh: sebuah sengkalan berbunyi “Sirna ilang kertaning bumi” maka jika dialihkan menjadi angka menjadi sirna = 0, ilang = 0, kertaning = 4, bumi = 1: maka dibaca 1400 saka atau 1478 masehi.
Berikut beberapa contoh sengkalan lamba di Kraton Yogyakarta:
Paksa Pujangga Hangayong Jagad (1682 jawa, berdirinya Kraton Yogyakarta)
Nir Panca Padhita Rat (1750 jawa, Sultan HB IV wafat)
Tunggal Catur Pandhita Iku (1741 jawa, dinobatkannya Sultan HB IV)
dll..
Beberapa contoh sengkalan memet di Kraton Yogyakarta:
Dwi Naga Rasa Tunggal (1682 jawa, berdirinya Kraton Yogyakarta, bisa dilihat di atas renteng kelir baturana kagungan dalem regol Kemagangan dan regol Gadhung Mlathi berupa dua ekor naga dengan ekor saling melilit).
Dwi Naga Rasa Wani (1682 jawa, berupa dua ekor naga berwarna merah yang berada di regol Kemagangan)
Esthi Sara Esthi Aji (1858 jawa, berbentuk dua ekor kepala gajah yang terdapat anak panah di belalainya, terdapat di Regol Danapratapa, merupakan penanda tahun dipugarnya Kori Danapratapa oleh Sultan HB VIII)
dll...
Itulah sekilas mengenai sengkalan, baik suryasengkala maupun candrasengkala, sengkalan memet ataupun sengkalan lamba. Mengenai perhitungan waktu, orang jawa mempunyai perhitungan astronomi yang cukup kompleks, bahkan bila dibandingkan dengan metode perhitungan waktu Bangsa Maya yang terkenal. Mengenai perhitungan waktu orang jawa bisa dibaca pada artikel selanjutnya, meliputi legenda asal mula perhitungan waktu orang jawa dan penggunaannya.

SEJARAH BUTA CAKIL


Antara tahun 1568 - 1586 setelah periode Demak di pulau Jawa bagian tengah, berdiri Kerajaan Pajang yang diperintah oleh Sultan Hadiwijaya, di mana semasa mudanya beliau terkenal dengan nama Jaka Tingkir. Dalam pertikaian dengan Adipati dari Jipang yang bernama Arya Penangsang, beliau berhasil mucul sebagai pemenang atas bantuan dari beberapa orang panglima perangnya, antara lain Ki Ageng Pemanahan dan putera kandungnya yang bernama Bagus Sutawijaya, seorang Hangabehi yang bertempat tinggal di sebelah utara pasar dan oleh karenanya beliau mendapat sebutan Ngabehi Loring Pasar.
Sebagai balas jasa kepada Ki Ageng Pemanahan dan puteranya itu, Sultan Pajang kemudian memberikan anugerah sebidang daerah yang disebut Bumi Mentaok, yang masih berupa hutan belantara, dan kemudian dibangun mejadi sebuah "tanah perdikan". Sesurut Kerajaan Pajang, Bagus Sutawijaya yang juga menjadi putra angkat Sultan Pajang, kemudian mendirikan Kerajaan Mataram di atas Bumi Mentaok dan mengakat diri sebagai Raja dengan gelar Panembahan Senapati.
Salah seorang putera beliau dari pekawinannya dengan Retno Dumilah, putri Adipati Madiun, memerintah Kerajaan Mataram sebagai Raja ketiga, dan bergelar Sultan Agung Hanyokrokusumo, Beliau adalah seorang patriot sejati dan terkenal dengan perjuangan beliau merebut kota Batavia, yang dekarang disebut Jakarta, dari kekuasaan VOC, suatu organisasi dagang Belanda. Waktu terus berjalan dan peristiwa silih berganti.
Pada masa pemerintahan Sultan Agung Anyakrawati, wayang Beber yang semula dipergunakan untuk sarana upacara ruwatan diganti dengan wayang Purwa dan ternyata berlaku hingga sekarang.
Pada masa itu pula diciptakan beberapa tokoh raksasa yang sebelumnya tidak ada, antara lain Buto Cakil. Wajah mirip raksasa, biasa tampil dalam adegan Perang Kembang atau Perang Bambangan.
Perwujudan Buta Cakil ini merupakan sengkalan yang berbunyi: Tangan Jaksa Satataning Jalma ( 1552 J / 1670 M ). Dalam pagelaran wayang Purwa tokoh Buta Cakil merupakan lambang angkara murka. Bentuk penyempurnaan wayang Purwa oleh Sultan Agung tersebut diakhiri dengan pembuatan tokoh raksasa yang disebut Buta Rambut Geni, yaitu merupakan sengkalan yang berbunyi Urubing Wayang Gumulung Tunggal: ( 1553 J / 1671 M ).
Perlawanan terhadap Belanda
- Perluasan ke Barat terhalang kekuasaan Belanda di Batavia
- Mataram menyerang Belanda melalui darat dan laut tetapi gagal
- Pasukan dibawah Tumenggung Baurekso membuat benteng dari bambu Marunda, Cilincing. a. VOC membakar kampung disekitarnya supaya mudah mengawasi gerakan mereka.
-Pasukan Mataram menggali parit ke benteng dan memanjat dinding benteng,tapi mereka gagal. c. VOC menyerang balas sehingga Tumenggung Baurekso dan pasukannya gugur.
- Tumenggung Suro Agul-Agul,Kiai Dipati Madingo,Kiai Dipati Upasonto datang membantu.
- Untuk mengalahkan VOC,tentara Mataram membendung kali Ciliwung. Wabah penyakit berjangkit di benteng VOC. Tapi tentara Mataram juga terkena akibatnya sehingga kekurangan makan dan terkena malaria.
- Dalam serangan ke dua Mataram menyiapkan logistik. Menempatkan lumbung di Tegal dan Cirebon. Belanda mengetahui lalu membakar lumbung itu.
- Akhirnya Benteng Hollandia berhasil direbut,tapi serangan ke Bommelin gagal.
- Dalam pengepungan kota Mataram,J.P.Coen meninggal karena kolera.
- Mataram gagal merebut Batavia karena kurang logistik.
-Amangkurat I dan II adalah Sunan Mataram yang mengijinkan Belanda berdagang di semua bandar Mataram. Bandar Semarang dan Priangan diberikan pada Belanda.
Di bawah pemerintahannya (tahun 1613-1645) Mas Rangsang, yang juga bergelar Sultan Agung Hanyakrakusuma,Mataram mengalami masa kejayaan. Ibukota kerajaan Kotagede dipindahkan ke Kraton Plered. Sultan Agung merupakan raja yang menyadari pentingnya kesatuan di seluruh tanah Jawa. Daerah pesisir seperti Surabaya dan Madura ditaklukkan supaya kelak tidak membahayakan kedudukan Mataram. Ia pun merupakan penguasa lokal pertama yang secara besar-besaran dan teratur mengadakan peperangan dengan Belanda yang hadir lewat kongsi dagang VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). Kekuasaan Mataram pada waktu itu meliputi hampir seluruh Jawa, dari Pasuruan sampai Cirebon. Sementara itu VOC telah menguasai beberapa wilayah seperti di Batavia dan di Indonesia Bagian Timur.
Di samping dalam bidang politik dan militer, Sultan Agung juga mencurahkan perhatiannya pada bidang ekonomi dan kebudayaan. Upayanya antara lain memindahkan penduduk Jawa Tengah ke Kerawang, Jawa Barat, di mana terdapat sawah dan ladang yang luas serta subur. Sultan Agung juga berusaha menyesuaikan unsur-unsur kebudayaan Indonesia asli dengan Hindu dan Islam. Misalnya Garebeg disesuaikan dengan hari raya Idul Fitri dan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sejak itu dikenal Garebeg Puasa dan Garebeg Mulud. Pembuatan tahun Saka dan kitab filsafat Sastra Gendhing merupakan karya Sultan Agung yang lainnya.
Sultan Agung meninggal pada tahun 1645 dengan meninggalkan Mataram dalam keadaan yang kokoh, aman, dan makmur. Ia diganti oleh putranya yang bergelar Amangkurat I. Amangkurat I tidak mewarisi sifat-sifat ayahnya. Pemerintahannya yang berlangsung tahun 1645-1676 diwarnai dengasn banyak pembunuhan/kekejaman. Pada masa pemerintahannya ibukota kerajaan Mataram dipindahkan ke Kerta.
Pada tahun 1674 pecahlah Perang Trunajaya yang didukung para ulama dan bangsawan, bahkan termasuk putra mahkota sendiri. Ibukota Kerta jatuh dan Amangkurat I (bersama putra mahkota yang akhirnya berbalik memihak ayahnya) melarikan diri untuk mencari bantuan VOC. Akan tetapi sampai di Tegalarum, (dekat Tegal, Jawa Tengah) Amangkurat I jatuh sakit dan akhirnya wafat.
Ia digantikan oleh putra mahkota yang bergelar Amangkurat II atau dikenal juga dengan sebutan Sunan Amral. Sunan Amangkurat II bertahta pada tahun 1677-1703. Ia sangat tunduk kepada VOC demi mempertahankan tahtanya. Pada akhirnya Trunajaya berhasil dibunuh oleh Amangkurat II dengan bantuan VOC, dan sebagai konpensasinya VOC menghendaki perjanjian yang berisi: Mataram harus menggadaikan pelabuhan Semarang dan Mataram harus mengganti kerugian akibat perang.
Oleh karena Kraton Kerta telah rusak, ia memindahkan kratonnya ke Kartasura (1681). Kraton dilindungi oleh benteng tentara VOC. Dalam masa ini Amangkurat II berhasil menyelesaikan persoalan Pangeran Puger (adik Amangkurat II yang kelak dinobatkan menjadi Paku Buwana I oleh para pengikutnya). Namun karena tuntutan VOC kepadanya untuk membayar ganti rugi biaya dalam perang Trunajaya, Mataram lantas mengalami kesulitan keuangan. Dalam kesulitan itu ia berusaha ingkar kepada VOC dengan cara mendukung Surapati yang menjadi musuh dan buron VOC.
Hubungan Amangkurat II dengan VOC menjadi tegang dan semakin memuncak setelah Amangkurat II mangkat (1703) dan digantikan oleh putranya, Sunan Mas (Amangkurat III). Ia juga menentang VOC. Pihak VOC yang mengetahui rasa permusuhan yang ditunjukkan raja baru tersebut, maka VOC tidak setuju dengan penobatannya. Pihak VOC lantas mengakui Pangeran Puger sebagai raja Mataram dengan gelar Paku Buwana I. Hal ini menyebabkan terjadinya perang saudara atau dikenal dengan sebutan Perang Perebutan Mahkota I (1704-1708). Akhirnya Amangkurat III menyerah dan ia dibuang ke Sailan oleh VOC. Namun Paku Buwana I harus membayar ongkos perang dengan menyerahkan Priangan, Cirebon, dan Madura bagian timur kepada VOC.
Paku Buwana I meninggal tahun 1719 dan digantikan oleh Amangkurat IV (1719-1727) atau dikenal dengan sebutan Sunan Prabu , dalam pemerintahannya dipenuhi dengan pemberontakan para bangsawan yang menentangnya, dan seperti biasa VOC turut andil pada konflik ini, sehinggga konflik membesar dan terjadilah Perang Perebutan Mahkota II (1719-1723). VOC berpihak pada Sunan Prabu sehingga para pemberontak berhasil ditaklukkan dan dibuang VOC ke Sri Langka dan Afrika Selatan.
Sunan Prabu meninggal tahun 1727 dan diganti oleh Paku Buwana II (1727-1749). Setelah beliau mangkat, terjadilah pertikaian keluarga, antara salah seorang putra beliau dengan salah seorang adik beliau, yang merupakan pula hasil hasutan dari penjajah Belanda yang berkuasa saat itu. Petikaian itu dapat diselesaikan dengan baik melalui Perjanjian Ginyanti, yang terjadi pada tahun 1755, yang isi pokoknya adalah Palihan Nagari, yang artinya pembagian Kerajaan menjadi dua, yakni Kerajaan Surakata Hadiningrat dibawah pemerintah putera Sunan Paku Buwono ke-III, dan Kerajaan NgaYogyakarta Hadiningrat dibawah pemerintahan adik kandung Sri Sunan Paku Buwono ke-II yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I. Kerajaan NgaYogyakarta Hadiningrat ini kemudian lazim disebut sebagai Yogyakarta dan sering disingkat menjadi Jogja.
Pada tahun 1813, Sri Sultan Hamengku Buwono I, menyerahkan sebagian dari wilayah Kerajaannya yang terletak di sebelah Barat sungai Progo, kepada salah seorang puteranya yang bernama Pangeran Notokusumo untuk memerintah di daerah itu secara bebas, dengan kedaulatan yang penuh. Pangeran Notokusumo selanjutnya bergelar sebagai Sri Paku Alam I, sedang daerah kekuasaan beliau disebut Adikarto. Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, beliau menyatakan sepenuhnya berdiri di belakang Negara Republik Indonesia, sebagai bagian dari negara persatuan Republik Indonesia, yang selanjutnya bersatatus Daerah Istimewa Yogyakarta (setingkat dengan Propinsi), sampai sekarang.

SENGKALAN (Javanese Chronogram)

Orang Jawa dikenal mempunyai kebiasaan menggunakan berbagai simbol dalam berbagai hal. Simbol-simbol tersebut biasanya digunakan untuk memperingati peristiwa-peristiwa penting. Dunia simbol orang jawa bukan hanya berupa benda-benda dua atau tiga dimensi, tetapi juga simbol-simbol kata. Simbol-simbol tersebut secara umum digunakan untuk menggambarkan perhitungan waktu, mengenai kapan sebuah peristiwa terjadi. Simbol yang masuk dalam kategori ini disebut Sengkalan (Javanese Chronogram).
Sengkalan mempunyai dua jenis, yaitu Sengkalan Memet dan Sengkalan Lamba. Sengkalan Memet adalah jenis sengkalan yang berupa gambar, ornamen, atau ukiran. Secara umum berupa benda dua dimensi atau tiga dimensi. Sementara Sengkalan Lamba merupakan sengkalan yang berupa kata-kata atau kalimat.
Selain itu sistem penanggalan orang jawa yang menggunakan perhitungan waktu berdasarkan matahari (tahun saka dan tahun masehi), biasanya disebut Suryasengkala dan bulan (tahun hijriyah dan tahun jawa), yang disebut Candrasengkala. Karena sengkalan ini digunakan untuk menuliskan tahun terjadinya sebuah peristiwa, maka sengkalan menggunakan kata-kata dan objek visual untuk menggantikan angka-angka dari 0-9.

Untuk menuliskan sebuah sengkalan, syarat yang harus dipenuhi adalah kata-kata atau gambar harus mempunyai watak wilangan (sifat bilangan). Secara terperinci, bisa dilihat di bawah ini (Sri Suwito, Yuwono, Sengkalan dan Logika Pemikiran Orang Jawa – Jurnal Kejawen: UNY – Yogyakarta 2011):
Watak satu                 : benda benda yang jumlahnya hanya satu, benda-benda berbentuk bulat, atau                                 manusia.
Watak dua                  : benda yang jumlahnya dua (tangan, telinga, dll)
Watak tiga                  : api, atau benda yang mengandung api
Watak empat              : air, dan kata-kata yang mengandung arti gawe (membuat)
Watak lima                 : raksasa, panah, angin
Watak enam               : rasa/perasaan, kata-kata yang mengandung arti obah (bergerak), kayu,                               binatang berkaki enam (serangga)
Watak tujuh               : pendeta, gunung, kuda, dan kendaraan
Watak delapan           : brahmana, gajah, dan binatang melata (reptil)
Watak sembilan         : dewa dan benda-benda berlobang
Watak nol                   : kata-kata yang mengandung arti tidak ada, langit, angkasa, dan kata-kata                              yang mempunyai arti tinggi
Watak bilangan itu merupakan salah satu syarat. Syarat yang lain adalah harus memenuhi unsur estetika penulisan sastra jawa, yang ditandai dengan Guru Dasanama (sinonimi), Guru Sastra atau Guru Lagu (persamaan kata), Guru Warga (persamaan golongan), Guru Wanda (persamaan suku kata), Guru Sarana (persamaan fungsi), Guru Karya (persamaan sifat kerjanya), Guru Darwa (persamaan sifat suatu barang), dan Guru Jarwa (persamaan makna).
Itulah beberapa syarat untuk membuat sebuah sengkalan lamba, sementara untuk sengkalan memet harus mempunyai ketrampilan estetika untuk bisa mewujudkan sebuah angka tahun dalam sebuah obyek dua dimensi atau tiga dimensi. Ketika sebuah sengkalan telah selesai, sengkalan itu harus disusun dari belakang ketika dialihkan menjadi angka dari kata-kata. Contoh: sebuah sengkalan berbunyi “Sirna ilang kertaning bumi” maka jika dialihkan menjadi angka menjadi sirna = 0, ilang = 0, kertaning = 4, bumi = 1: maka dibaca 1400 saka atau 1478 masehi.
Berikut beberapa contoh sengkalan lamba di Kraton Yogyakarta:
Paksa Pujangga Hangayong Jagad (1682 jawa, berdirinya Kraton Yogyakarta)
Nir Panca Padhita Rat (1750 jawa, Sultan HB IV wafat)
Tunggal Catur Pandhita Iku (1741 jawa, dinobatkannya Sultan HB IV)
dll..
Beberapa contoh sengkalan memet di Kraton Yogyakarta:
Dwi Naga Rasa Tunggal (1682 jawa, berdirinya Kraton Yogyakarta, bisa dilihat di atas renteng kelir baturana kagungan dalem regol Kemagangan dan regol Gadhung Mlathi berupa dua ekor naga dengan ekor saling melilit).
Dwi Naga Rasa Wani (1682 jawa, berupa dua ekor naga berwarna merah yang berada di regol Kemagangan)
Esthi Sara Esthi Aji (1858 jawa, berbentuk dua ekor kepala gajah yang terdapat anak panah di belalainya, terdapat di Regol Danapratapa, merupakan penanda tahun dipugarnya Kori Danapratapa oleh Sultan HB VIII)
dll...
Itulah sekilas mengenai sengkalan, baik suryasengkala maupun candrasengkala, sengkalan memet ataupun sengkalan lamba. Mengenai perhitungan waktu, orang jawa mempunyai perhitungan astronomi yang cukup kompleks, bahkan bila dibandingkan dengan metode perhitungan waktu Bangsa Maya yang terkenal. Mengenai perhitungan waktu orang jawa bisa dibaca pada artikel selanjutnya, meliputi legenda asal mula perhitungan waktu orang jawa dan penggunaannya.