Dalam falsafah Jawa
sebagaimana tersurat dalam Serat Gatholoco yang kontroversial itu, namun
kenyataannya sarat akan falsafah kawruh kawaskithan. Isi di dalamnya
salah satunya terdapat cangkriman (tebakan) antara si manusia buruk rupa
bernama Gatholoco dengan para santri di pondok Cepekan. Gatholoco
merupakan figur manusia yang tak bisa diukur hanya melalui apa yang
tampak oleh mata wadag saja (jalma tan kena kinira). Biarpun secara
fisik sangat buruk dan baunya tak enak, namun ia memiliki filsafat hidup
sangat tinggi sekali. Setidaknya hal itu mengajarkan kepada kita,
jangan sampai kita gegabah menilai orang lain semata-mata dari yang
tampak oleh mata, dan apa yang bisa dibaca secara verbal.
Gatholoco Bertanya
Gatholoco nulyà ngucap, dalang wayang lawan kělir, lan baléncong ngěndi
kang tuwà, badéněn cangkriman iki. Yèn sirà nyàtà wasis, městhi wěruh
ingkang sěpuh, Ahmad Arif ambatang kělir kang tuwà pribadi, Abdul Jabar
ambatang, Ki dalang kang tuwà déwé. Abdulmanap kanthi wicak ambatang,
mênàwà tuwà déwé ora liyà wayangé.
Gatholoco kemudian berkata, dalang wayang dan kelir, serta blencong mana yang paling tua, tebaklah peribahasa ini. Bila kamu memang pandai pasti mengetahui mana yang paling tua sendiri. Ahmad Arif menebak, kelir yang paling tua sendiri, menurut Abdul Jabar yang paling tua adalah dalangnya. Abdul Manap lain lagi, menebak bila yang paling tua tidak lain adalah wayangnya. Namun bagi Gatholoco kesemua jawaban tersebut belumlah tepat.
Gatholoco kemudian berkata, dalang wayang dan kelir, serta blencong mana yang paling tua, tebaklah peribahasa ini. Bila kamu memang pandai pasti mengetahui mana yang paling tua sendiri. Ahmad Arif menebak, kelir yang paling tua sendiri, menurut Abdul Jabar yang paling tua adalah dalangnya. Abdul Manap lain lagi, menebak bila yang paling tua tidak lain adalah wayangnya. Namun bagi Gatholoco kesemua jawaban tersebut belumlah tepat.
Jawaban Versi Gatholoco :
Bila menurutku, blencong lah yang paling tua sendiri. Walaupun kelir
sudah dipasang, gamelan sudah siap tertata, dalang duduk siap, namun
bila panggungnya masih gelap tentunya belum bisa berjalan pementasan
wayangnya. Penonton pun tak bisa melihat akan warna warni rupa wayang
yang perpasang di sepanjang kelir. Bila blencong sudah dinyalakan,
barulah tampak berjejer wayang menancap di sepanjang kelir. Di atas di
bawah, di kiri dan di kanan, tampak Pandawa dan Kurawa berjajar saling
berhadapan. Dalang di bawah blencong dapat memilih wayang-wayang yang
akan dilakonkan. Dalang dapat menimbang besar kecilnya wayang, memilih
dan memilah dalam masing-masing kelompok. Sifat dan watak wayang
digolongkan sendiri-sendiri sesuai dengan karakternya, sesuai pula
dalang mengucap intonasinya. Semua itu bisa berjalan karena lampu
blencong telah menerangi jagad pakeliran, dalam pagelaran lakon wayang.
Oleh karena itu blenconglah yang paling tua. Begitulah jawaban Si
manusia buruk rupa Gatholoco.
Makna Di Balik Ucapan Gatholoco
agar mengetahui maksud pemikiran Gatholoco, sebelumnya marilah kita
sama-sama mengupas satu-persatu makna filsafat di balik peralatan dalam
pentas wayang. Bunyi gamelan, wayang yang diiringi gamelan, dalang hanya
sekedar mengucap, si wayang lah yang memiliki bunyi. Kurang lebih
artinya, (seolah) semua patuh pada kehendak dalangnya, berkuasa atas
semua wayang dan lakon, akan tetapi jangan terkecoh, Ki Dalang hanya
sekedar melakonkan wayang, alias Ki dalang hanya sekedar mengikuti alur
cerita yang telah ada sebelumnya.
Perintah orang yang menanggap
pagelaran wayang, disebut Gatholoco sebagai Kyai Sepi, artinya sěpi
tanpà ànà, ànàné ginělar yěkti, langgeng tan owah gingsir, tanpa kurang
tanpa wuwuh, tanpà rèh tanpa guna, ingkang luwih masesani, ing solahe
wayang ucape Ki dalang; sepi tanpa ada, adanya tidak lain sejatinya yang
telah tergelar di alam semesta, tetap abadi, tiada berkurang tiada
bertambah, tanpa sebab tanpa guna, yang lebih menguasai, ada pada
tingkah Ki dalang dan ucapannya.
Yang pasti menjalani yang baik
dan buruk, penonton dan yang nanggap wayang, yakni disebut Kyai Urip.
Bila lampu blencong sudah mati, semuanya menjadi suwung awang uwung,
tiada apapun, ibarat kita belum lahir ke bumi, batin kita suwung tiada
apapun.
Baiklah supaya lebih mudah dipahami filsafat di alam
pemikiran si buruk rupa Gatholoco mari kita bahas satu-persatu mengenai
instrumen dalam pementasan wayang sbb;
Běběr
Disebut pula
layar putih tanpa noda. Merupakan gambaran mercàpàdà atau bumi ini yang
sesungguhnya merupakan tempat suci. Di manapun tempat, wilayah, daerah,
negara, daratan semuanya adalah tempat suci. Jika ada tempat tidak suci,
atau dianggap lembah hitam atau kotor, sesungguhnya hanyalah penilaian
subyektif atau sekedar manusianya yang kotor, bukan bumi tempat mereka
berpijak. Layar sebagai gambaran bumi, menjadi panggung pementasan
“sandiwara kehidupan” wayang.
Kělir
Kělir adalah gěděbok
(batang) pohon pisang. Jika tidak dipakai lagi untuk menancapkan wayang,
maka kělir akan dibuang menjadi barang busuk berbau dan tak ada
gunanya, lalu kembali menjadi tanah. Kělir ibarat raga atau jasad kita
yang digunakan sebagai tempat bersemayamnya sukma kita. Jasad yang
digunakan sebagai media sukma agar dapat berbuat sesuatu di dalam
dimensi wadag měrcapada (bumi).
Wayang
Wayang mempunyai
dua dimensi, jika ditonton dengan benar seharusnya dari balik layar
pementasan. Yang yampak adalah siluet bayangan hitam si wayang. Wayang
adalah jiwa, atau jiwànggà, jiwà ing ànggà yakni jiwa yang manjing di
raga. Sedangkan bayangan wayang di balik běběr atau layar ibaratnya
“guru sejati” atau sukma sějati.
Pěthi
Kotak kayu
untuk menyimpan wayang yang belum dikeluarkan atau wayang yang sudah
mati. Tokoh wayang yang sudah mati, pasti meninggalkan kelirnya dan
dimasukkan oleh dalang ke dalam kotak pěthi. Pethi ibaratnya liang
kuburan. Jika anda serem akan liang kuburan, karena belum memahami makna
liang kubur. Liang kubur sesungguhnya pintu kecil, gelap, pengap dan
sempit, namun menjadi “lorong” atau pintu masuk menuju ke alam gaib para
leluhur yang terang benderang dan menakjubkan (bagi yang perbuatannya
pada sesama baik, bagi yang tdk baik saya nggak tahu).
Dalang
Dalang adalah orang yang hanya sekedar menjalankan cerita-cerita
(lakon) wayang yang telah ada sebelumnya. Meskipun demikian, dalang
harus memahami betul pakem gamelan, karakter wayang, cengkok tembang,
pribadi masing-masing waranggana dan wiyaga. Dalang menjadi pembawa
cerita, sekaligus pemimpin atau komando bagi seluruh tim yang
bersama-sama menjalankan pementasan “sandiwara kehidupan” wayang.
Kekompakan terjadi bilamana para waranggana, wiyaga, dan asisten dalang
memahami secara persis bagaimana jalan cerita lakon, menghayatinya serta
bagaimana keinginan-keinginan Ki Dalang selama melakonkan wayang.
Dalang ibarat pemuka agama, tokoh masyarakat, koordinator paguyuban dan
perkumpulan, sesepuh desa, pemuka adat, pemimpin spiritual, yang hanya
sekedar menjalankan hukum kodrat Tuhan, hukum alam, nilai-nilai tradisi
dan budaya yang telah ada sebelumnya untuk mendasari lakon kehidupan di
mercapada, sejak bumi ini ada. Siapapun boleh dan bisa menjadi dalang.
Tidak pandang derajat, pangkat, golongan. Maknanya, setiap orang boleh
dan bisa menjadi ahli spiritual, pemuka adat, tokoh masyarakat, tokoh
agama, dst. Setiap manusia berhak menjadi khalifah di mercapada. Tak
perlu menunggu disuruh-suruh Tuhan. Syaratnya hanyalah, memahami akan
nilai kesejatian kebenaran, memiliki banyak ilmu pengetahuannya, serta
mampu mengendalikan diri agar menjadi manusia yang arif, berwibawa,
bijaksana, adil dan paling penting adalah bersedia berbuat kebaikan pada
sesama tanpa pandang apa sukunya, apa agamanya, apa budayanya, dari
mana asalnya, siapa namanya, apa jabatannya. Dalang menjadi jalma
manungsa kang hambeg utama, sadrema netepi titahing Gusti. Umpama
manusia-manusia suci penegak keadilan dan kebenaran di muka bumi, yang
hanya menetapkan segala tindakannya sesuai lakon dalam kodrat Hyang
Widhi.
Blencong
Blencong merupakan lampu penerang
letaknya di depan layar, di atas Ki dalang duduk bersila. Blencong
menggunakan bahan bakar minyak kelapa, sehingga nyalanya relatif lama,
apinya bersih, baunya juga harum dan gurih. Filsafat blencong umpama
wahyu kehidupan, atau atmà sejati yang menghidupkan segala yang hidup,
cahaya blencong umpama cahyà sejati. Blencong berasal dari Hyang Widhi
yang tak tergambarkan dalam pagelaran wayang. Blencong asale sàkà
wahananing Gusti Kang Murbeng Dumadi. Cahaya blencong adalah cahyà
sejati, yang menerangi seluruh pagelaran wayang kulit, yakni meliputi
seluruh jagad gumelar. Cahyà sejati, menyinari wayang (sukmà sejati),
menyinari Ki Dalang dan kelir. Blencong dan sinarnya ibarat tejà lan
cahyà. Yakni umpama Bethara Nurrada dan Bethàrà Teja (Antàgà). Càhyà
sejati, cahaya kehidupan merambah ke dalam badan, di luar dan di dalam,
di bawah dan di atas, berasal dari Yang Maha Hidup atma sejati, wujudnya
berasal dari Hyang Mahamulya. Wujudnya menjadi Wujud Yang Maha
Tunggal. Ora ànà PĂRĂ Màhà Tunggal kajàbà kang NYAWIJI Màhà Tunggal.
Gatholoco Pergi meninggalkan Pertanyaan :
..Yèn wayang mari tinanggap, wayangé kalawan kêlir sinimpên sajroning
kothak, baléncong pisah lan kêlir, dalang pisah lan ringgit, marang êndi
paranipun, sirnaning baléncong wayang, upayanên dèn kêpanggih, yèn tan
wêruh sirà urip kàyà rêcà…
Bilamana pertunjukan wayang telah usai,
wayang dan kelir disimpan dalam kotak,
blencong terpisah dengan kelir,
dalang terpisah dengan wayang,
di manakah tujuannya,
hilangnya blencong wayang,
carilah sampai ketemu,
bila tak mengerti
kamu ibarat hidup seperti arca.
Bénjang yèn sirà palastrà, uripmu ànà ing ngêndi, saikine sirà gêsang,
patimu ànà ing ngêndi, uripmu bakal mati, pati nggàwà urip iku, ing
ngêndi kuburirà, sirà gàwà wira-wiri, tuduhênà dunungé panggonanirà…..
Besok bila kamu mati,
hidupmu ada di mana,
sekarang ini kamu hidup,
kematianmu ada di mana,
hidupmu bakal mati,
kematian membawa kehidupan,
di mana kuburanmu,
kamu bawa kesana-kemari,
tunjukkan di manakah tempatmu.
Apa jawabannya…?
Namun hati-hatilah menjawab, karena pertanyaan Gatholoco tersebut
merupakan pertanyaan mengandung dua dimensi yakni lahir dan batin. Jasad
dan spirit (roh), artinya bukan sekedar pertanyaan lugas, namun lebih
cenderung kiasan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar