Mendengar nama Alas Purwo, imajinasi kita pasti akan tertuju pada
sebuah kawasan hutan lebat. Hal itu memang benar, Alas Purwo adalah
sebuah kawasan hutan Taman Nasional di bawah lingkup Departemen
Kehutanan dan Perkebunan. Sebuah hutan lebat (dan angker) dengan
berbagai macam habitat yang hidup di dalamnya, konon termasuk dalam 7
daftar tempat paling angker di dunia dan tempat terangker di pulau Jawa.
Alas Purwo adalah salah satu tempat yang terdapat pintu masuk ke
dimensi ghaib. Nama sebenarnya adalah Purwa Kala, hanya sampai sekarang
masyarakat menyebutnya Alas Purwo saja. Jaman dahulu pintu gerbang
dimensi ghaib tersebut pernah dibuka, dikarenakan pada waktu itu tanah
Jawa masih gung lewang lewung, banyak sekali manusia datang ke Alas
Purwo menemui ajalnya, istilahnya jalmo moro jalmo mati. Mengapa bisa
begitu ? karena pada waktu itu pintu dimensi ghaib terbuka yang
menyebabkan para mahluk ghaib menebarkan aura hitam yang membuat manusia
lupa diri.
Menurut laporan National Geographic Traveller, Taman Nasional Alas
Purwo (TN Alas Purwo) adalah taman nasional yang terletak di Kecamatan
Tegaldlimo dan Kecamatan Purwoharjo, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.
Secara geografis terletak di ujung timur Pulau Jawa wilayah pantai
selatan. Taman nasional ini memiliki ragam obyek dan daya tarik wisata
alam dan wisata budaya (sea, sand, sun, forest, wild animal, sport and
culture) yang letaknya tidak begitu jauh satu sama lain. Bagi masyarakat
sekitar, nama Alas Purwo memiliki arti sebagai hutan pertama, atau
hutan tertua di Pulau Jawa. Oleh sebab itu, tak heran bila masyarakat
sekitar menganggap Alas Purwo sebagai hutan keramat. Sehingga,
selain diminati sebagai tujuan wisata alam, kawasan Alas Purwo juga
diyakini memiliki situs-situs yang dianggap bersejarah yang sering
digunakan untuk melakukan ritual.
Sampai disini… Nuwunsewu, nyuwun gunge samudro pangaksami, mbok bilih
enten seratan ingkang kirang lan mboten dados kerso ing manah… Minta
maaf yang sebesar-besarnya jika artikel kali ini mungkin ada yang dirasa
masih banyak kekurangan ataupun tidak membuat berkenan dihati, oleh
karena kurangnya referensi ilmu pengetahuan terkait yang mungkin masih
tercecer, terpendam atau tersimpan diluar sana.
Jika kita ibaratkan ilmu spiritual ini seperti ‘cermin’ yang pecah
dan berserakan, maka sudahlah tentu kita memiliki kewajiban moral tanpa
pamrih untuk mengumpulkan serpihan-serpihan cermin mutiara tersebut
sehingga bisa digunakan generasi sebagai cerminan jati diri.
Sumonggo kerso paring sumbangsih panggraitanipun, artikel ini
dimaksutkan untuk ‘Menggali spiritual asli Jawa’ yang seluas samudra
jagad semesta ini. Kita harapkan melalui diskusi interaktif berupa
sharing pengalaman dan pencerahan dari poro kadang lan pinisepuh,
sehingga dengan demikian pemahaman tentang Jawa tidak stagnant dan
terhenti dalam sudut pandang tertentu saja.
Menurut berbagai sumber, ajaran ‘Jawa’
sebenarnya sangatlah simpel dan mengena. ini seperti kata mutiara yang
pernah di lontarkan oleh ilmuwan sekaliber Kanjeng Mas Albert Einstein,
he said “If You Can`t Explain It Simply, You Don`t Understantd It Well
Enough” ^_* …
Intisari ajaran Purwo selalu bermuara dari/ke/pada filosofi ‘Lingga Yoni’
“…Purwaning dumadine manungsa. Tan liya saka dening Roh Suci kang
sinabatumurun. Gumelar aneng alam donya. Kang srawa tuwuh manuwuh.
Dedalane Manunggal. Kinentenan sarwo mijil. Gelar gumelare manungsa.
Saka dening manunggaling rasa sejati. Manunggaling rama klawan ibu
sakarone podo rebut rasa. Rangkul rinangkul datan pada uwal. Uwalira
namun wis mijil. Mula sakabehing para manungsa. Elinga purwaning dumadi.
Sun jarwani marganipun. Nalika jenengsirakinandut ning ibunira. Ibunira
rina klawan dalu. Tan kendat anggone anyuwun mring sihin Gustine.
Pamintanipun ibunira murih widada lan dadi. Tulusing kang kinandut
sangang sasi nandang sangsara mbenjang miyos wanita miwah kakung ingkang
kagungan URIP.”
“Tes putih soko bopo tes abang soko biyung, wujute gedong cagak 4
lawang 9 isen-isene sukma sejati kang gumantung tanpo cantolan,
lungguhe ono batinku kang sekti kang kanggonan wekasan urip sejati
yoiku… arane, ora ono ingsun kejobo Gusti ora ono Gusti kejobo ingsun.
Duuuhh sejatine… weneono pituduh lamun mripat durung nganti weruh,
weneono krungu lamun kuping durung nganti krungu, wenenono roso lamun
kulit durung nganti kroso, weneono tombo lamun rogo lagi nandang lara.
Mandio pangucapku keturutono karepku kasembadanono opo sing dadi
karepku.”